Sabtu, 29 Mei 2010

**Oecusse Enclave Timor Leste sebagai Daerah Perbatasan Negara: Sebuah Perspektif Demografi-Politik**

Perbatasan sebuah negara, atau state’s border, dikenal bersamaan dengan lahirnya negara.
Negara dalam pengertian modern sudah mulai dikenal sejak abad ke-18 di Eropa. Perbatasan
negara merupakan sebuah ruang geografis yang sejak semula merupakan wilayah perebutan
kekuasaan antarnegara, yang terutama ditandai oleh adanya pertarungan untuk memperluas
batas-batas antarnegara. Sebagai bagian dari sejarah dan eksistensi negara, riwayat daerah
perbatasan tidak mungkin dilepaskan dari sejarah kelahiran dan berakhirnya berbagai negara.
Dalam kaitan ini menarik untuk mencermati kelahiran negara-bangsa (nation-state) sebagai bentuknegara modern yang berkembang sejalan dengan merebaknya ethnic nationalism dan national identity. Anthony D. Smith dalam bukunya Ethnic Origin of Nations (1986) menggambarkan nasional sebagai a collective cultural phenomenon yang mengandung berbagai elemen
dasar, seperti adanya kekhasan bahasa, sentimen-sentimen, dan simbolisme yang merekatkan
sebuah komuniti yang mendiami suatu teritori tertentu.
Pada awal sejarah kelahirannya, negara-bangsa, menurut Smith, identik dengan ‘negaraetnis’.
Pada awalnya, batas-batas teritorial dari negara-bangsa merupakan refleksi dari batasbatas
geografis sebuah etnis tertentu. Perkembangan selanjutnya dari negara-bangsa
memperlihatkan bahwa kesamaan cita-cita, yang tidak jarang bersifat lintas-etnis, lebih mengemuka
sebagai dasar dari eksistensi sebuah negara-bangsa. Perbatasan sebuah negara dalam konteks
semacam itu menunjukkan kompleksitas tersendiri yang memperlihatkan bahwa batas negara
tidak hanya membelah etnisitas yang berbeda. Ia bahkan membelah etnis yang sama, karena
dialaminya sejarah kebangsaan yang berbeda oleh warga etnis yang sama.
Pertama-tama, ‘perbatasan’ adalah konsep geografis-spasial. Ia baru menjadi konsep sosial
ketika kita berbicara tentang masyarakat yang menghuni atau melintasi daerah perbatasan.
Sebagai konsep geografis, masalah perbatasan telah selesai ketika kedua negara yang memiliki
wilayah perbatasan yang sama menyepakati batas-batas wilayah negaranya. Permasalahan
justru muncul ketika perbatasan dilihat dari perspektif sosial, karena sejak itulah batasan-batasan
yang bersifat konvensional mencair. Perbatasan memperoleh makna yang baru sebagai konstruksi
sosial dan kultural yang tidak lagi terikat pada pengertian yang bersifat teritorial.
Tulisan-tulisan utama yang dihimpun dalam nomor khusus ini merupakan pemaparan berbagai
aspek yang muncul di daerah perbatasan dari perspektif ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan.
Dalam perspektif itu, perbatasan tidak lagi dipandang sekedar sebagai geographical space,
tetapi lebih sebagai socio-cultural space. Dalam perspektif sosio-kultural inilah tulisan-tulisan
yang ditampilkan dapat dilihat sebagai sebuah upaya rintisan untuk mengembangkan studi atau
kajian tentang perbatasan (borderland studies). Di luar Timor Leste dan Asia Tenggara, kajian
tentang perbatasan telah berkembang, terutama di pusat-pusat ilmu sosial di Eropa Barat dan
Amerika Utara, dan telah menjadi field of studies yang baru.
Pada tuisan ini, kami beruntung memperoleh dua artikel yang membicarakan perbatasan
dalam tataran teoretis-konseptual. Artikel pertama ditulis oleh Reed Wadley (Border Studies
beyond Indonesia: A Comparative Perspective), dan yang kedua oleh Alexander Hortsmann
(Incorporation and Resistance: Border-Crossing and Social Transformation in Southeast Asia).
Kedua penulis adalah sejumlah kecil dari ahli antropologi yang memberikan perhatian khusus
pada studi perbatasan di kawasan Asia Tenggara. Ditampilkannya kedua tulisan yang bersifat
teoretis-konseptual ini diharapkan dapat menjadi rangsangan bagi para ilmuwan sosial di Timor Leste - Indonesia dan Asia Tenggara untuk mulai melakukan kajian tentang berbagai aspek sosial dan
kebudayaan di daerah perbatasan. Tulisan Wadley menyajikan sebuah perspektif bersifat
komparatif mengenai kajian tentang perbatasan di dunia, khususnya di Afrika dan Amerika
bagian barat-laut. Tujuan yang ingin dicapai oleh tulisan ini ialah menempatkan kajian tentang
perbatasan di Oecusse Enclave Timor Leste - Kab.TTU NTT Indonesia dalam konteks perbandingan yang lebih luas. Esai Horstmann yang
merupakan telaah terhadap state of the arts dari kajian tentang perbatasan mengemukakan tentang
semakin disadarinya perbatasan sebagai laboratorium perubahan sosial-budaya, khususnya di
Asia Tenggara. Esai ini mencoba mendiskusikan konsep yang koheren tentang batas, daerah
perbatasan, dan daerah frontier, serta mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan penelitian dan
agenda masa depan dari studi perbatasan.
Di Timor Leste, kajian atau studi tentang perbatasan masih berada pada tahap paling awal.....
Kajian-kajian yang ada umumnya masih dilakukan dengan pendekatan konvensional, dalam arti
belum menggunakan konsep-konsep dari kerangka teoretis yang mulai dikembangkan oleh
berbagai pusat kajian tentang perbatasan, baik di Eropa maupun Amerika. Dalam pendekatan
yang konvensional, daerah perbatasan terutama masih dipandang dalam kacamata pertahanan keamanan
suatu negara, atau dilihat sebagai sekedar daerah frontier yang masih harus
dikembangkan secara ekonomi.
Oecusse sebagai Daerah
Perbatasan: Sebuah Perspektif Demografi-Politik???
Perlu - sudah tepatkah pemerintah TL - RI menggunakan pendekatan demografi politik
dalam mengkaji daerah perbatasan Oecusse Enclave Timor Leste dengan Kab.Timor Tengah Utara NTT Indonesia???. Harus dapat dipahami bahwa penentuan batas kedua wilayah (Negara) masih berada dalam
perspektif konvensional yang didominasi oleh pemahaman perbatasan sebagai domain yang
harus dijaga secara strategis dan militer dari berbagai kemungkinan infiltrasi dari luar. Pada sisi
yang lain, Leonard Andaya (Orang Asli and Melayu Relations: A Cross-Border Perspective)
justru melihat perbatasan sebagai seorang ahli sejarah dari kacamata yang sangat berbeda.
Perbatasan tidak diartikan sebagai batas-batas fisik-geografis, tetapi sebagai batas-sosial dan
kultural. Uraian historisnya tentang pergeseran batas-batas identitas yang terjadi pada Orang
Timor Leste dan Timor Barat Indonesia harusnya merupakan contoh pendekatan yang baru dalam studi perbatasan Negara sebab tidak dapat dipungkiri telah ada dinamika Sosial-Budaya di Daerah Perbatasan Timor Leste - Timor Barat: Pengalaman Masa Lalu,Masa Kini dan Prospek Masa Depan??? diharapkan tulisan ini dapat mendorong minat para peneliti kedua negara TL - RI untuk mengkaji lebih lanjut berbagai masalah yang berakitan dengan perbatasan kedua negara.Dan.....Mohon maaf jika
tulisan itu dianggap tidak tepat untuk disertakan dalam kesempatan ini, Namun kami tetap berharap... semoga tulisan in dapat
memberikan pemahaman secara komprehensif tentang dimensi global dari berbagai perubahan
bersifat lokal di kawasan Asia Tenggara. Kajian dan studi tentang perbatasan perlu mencermati
pengaruh globalisasi yang tidak mungkin dihindari atas persepsi aktor-aktor di tingkat negara
dan di luar lingkup negara. Demikian pula halnya dengan pengaruh globalisasi terhadap respons
komuniti-komuniti lokal yang menghuni wilayah perbatasan, akan nasib dan masa depannya????
A LUTA CONTINUA......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar